Separah ini penebangan hutan Sumatera di google earth, masih bilang banjuir karena cuaca?

Bencana Ekologis Sumatera: Kerusakan Hutan, Bukan Sekadar Cuaca
Bencana banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir bukanlah fenomena alamiah yang disebabkan semata-mata oleh intensitas musim hujan. Data visual dari platform seperti Google Earth menguatkan temuan lapangan dan laporan lembaga lingkungan yang menunjukkan adanya deforestasi masif dan degradasi lahan sebagai pemicu utama.
Akar Masalah: Aktivitas Manusia dan Hilangnya Fungsi Hutan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara (Sumut) dan berbagai lembaga lainnya secara konsisten menunjuk pada tiga faktor dominan penyebab bencana:
- Penebangan Hutan Skala Besar (Deforestasi): Hutan di kawasan kritis seperti Batang Toru dan wilayah Tapanuli telah mengalami kerusakan parah. Pohon-pohon yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem dan penyerap air telah hilang.
- Alih Fungsi Lahan (Konversi): Kawasan hutan diubah menjadi perkebunan monokultur (misalnya sawit) atau peruntukan lain yang tidak memiliki kemampuan serapan air layaknya hutan primer.
- Aktivitas Pertambangan yang Tidak Terkontrol: Penambangan, terutama yang dilakukan di perbukitan, menyebabkan pengupasan lapisan tanah (topsoil). Hal ini membuat struktur tanah menjadi gembur, mudah longsor, dan tidak mampu menahan volume air hujan.
Dampak Ekologis dan Mekanisme Bencana
Ketika hutan hilang, terjadi perubahan fundamental pada siklus hidrologi dan stabilitas geologi lokal:
- Hilangnya Daerah Resapan Air: Hutan berfungsi seperti spons raksasa. Tanpa kanopi pohon dan akar yang mengikat, air hujan langsung mengalir ke permukaan tanah (surface runoff), alih-alih meresap perlahan.
- Peningkatan Kecepatan Aliran Sungai: Aliran air yang tidak tertahan mempercepat debit sungai, meluap lebih cepat, dan memicu banjir bandang.
- Kerentanan Longsor: Struktur tanah yang terbuka dan rapuh akibat penebangan atau pengupasan bukit tidak memiliki daya ikat. Hujan deras dengan cepat menjenuhkan tanah, memicu longsor hanya dalam hitungan menit.
Laporan dari media seperti Mongabay menggarisbawahi pola ini: wilayah yang hutannya habis dan tanahnya jenuh adalah episentrum dari bencana banjir terparah. Ini adalah bukti bahwa kejadian tersebut merupakan bencana ekologis (atau man-made disaster), bukan sekadar bencana alam murni.
Konsekuensi Sosial dan Ketidakadilan Lingkungan
Dampak paling pahit dari kerusakan ekologis ini selalu menimpa masyarakat kecil yang tinggal di sekitar kawasan terdampak.
- Korban Utama: Warga kehilangan rumah, mata pencaharian, dan harus mengungsi dalam ketidakpastian. Mereka menanggung kerugian fisik, ekonomi, dan psikologis.
- Impunitas Pelaku: Ironisnya, pihak-pihak yang bertanggung jawab atas perusakan lingkungan, seperti korporasi pemegang izin atau pengusaha tambang ilegal, seringkali luput dari sanksi dan tetap aman.
- Narasi yang Keliru: Setiap bencana yang terjadi hampir selalu disederhanakan sebagai “musim hujan” atau “faktor cuaca,” yang secara efektif mengaburkan dan membebaskan para pelaku perusakan lingkungan dari tanggung jawab.
Kerusakan lingkungan yang berkelanjutan ini memunculkan pertanyaan mendesak mengenai tata kelola sumber daya alam dan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap perusak lingkungan, alih-alih terus menyalahkan fenomena cuaca yang merupakan bagian dari siklus alam.
sumber:
https://www.instagram.com/reel/DRnGSPJEiOJ/?igsh=anVzOGhqdDdwdnZy
Temukan peta dengan kualitas terbaik untuk gambar peta indonesia lengkap dengan provinsi.




