Awasi kerja sama sawit Indonesia-Malaysia

Korupsi sebagai Penghambat Aksi Iklim Global
Selama beberapa dekade, praktik korupsi telah menjadi salah satu faktor utama yang merusak lingkungan dan memperparah krisis iklim. Transparency International (TI), melalui tulisan MGvantsa Gverdtsiteli, PhD dan Roberto Martinez B. Kukutschka, PhD yang berjudul “How corruption undermines global climate efforts”, mengungkapkan bagaimana para aktor jahat memanfaatkan korupsi untuk menghambat aksi iklim, baik di negara maju maupun berkembang.
Di negara maju, industri berpengaruh seperti bahan bakar fosil menggunakan kekuatan politiknya untuk memblokir kebijakan iklim yang ambisius dan merusak negosiasi global dalam forum seperti Conference of Parties (COP). Mereka melakukan lobi, menyebarkan misinformasi, dan menanamkan skeptisisme terhadap perubahan iklim demi mempertahankan keuntungan bisnis mereka.
Sementara itu, di negara berkembang, kelemahan dalam tata kelola dan pengawasan menyebabkan penyalahgunaan dana yang seharusnya digunakan untuk transisi ekonomi berkelanjutan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Transparansi dan akuntabilitas yang rendah memperparah permasalahan ini, membuat banyak dana iklim tidak mencapai tujuan yang diharapkan.
Korupsi dan Kejahatan Lingkungan
Praktik korupsi juga berdampak langsung pada kebijakan lingkungan yang lemah dan menurunnya kapasitas negara dalam melindungi lingkungan. Berbagai bentuk korupsi seperti suap, penipuan, dan sogok memungkinkan eksploitasi ilegal terhadap hutan, perburuan satwa liar, serta eksploitasi perikanan. Kejahatan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pejabat lokal, aparat keamanan, hingga otoritas perizinan yang mengabaikan pelanggaran atau bahkan berpartisipasi dalam aktivitas ilegal tersebut.
Kejahatan lingkungan yang mencakup perburuan satwa liar, penebangan liar, penangkapan ikan ilegal, pencemaran lingkungan, dan penambangan ilegal telah menjadi kejahatan terorganisir terbesar keempat di dunia. Diperkirakan, jaringan kriminal ini menyebabkan kerugian tahunan antara €80-230 miliar (Rp1.360-3.910 triliun).
Dampak Korupsi terhadap Pendanaan Iklim
Pendanaan iklim merupakan instrumen penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, negara-negara yang paling membutuhkan dana ini sering kali memiliki skor rendah dalam Corruption Perceptions Index (CPI). Antara 2012 dan 2021, sepuluh negara penerima terbesar pendanaan iklim memiliki skor CPI di bawah rata-rata global (43), menandakan tingginya risiko penyalahgunaan dana.
Ketidakefisienan dalam pengelolaan pendanaan iklim dapat menghambat pencapaian target iklim global dan semakin memperparah dampak perubahan iklim di negara-negara yang paling rentan terhadap bencana lingkungan.
Kebijakan Ekspansi Sawit dan Risiko Lingkungan
Dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kebijakan ketahanan pangan dan energi menjadi prioritas utama. Salah satu rencana besar yang dicanangkan adalah ekspansi 20 juta hektare lahan sawit untuk mendukung kemandirian pangan dan energi. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena berpotensi memperburuk deforestasi, konflik agraria, serta pelanggaran hak buruh dan masyarakat adat.
Kekhawatiran ini semakin meningkat setelah pertemuan Presiden Prabowo dengan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, pada 27 Januari 2025, yang menekankan kerja sama ekonomi, termasuk di sektor kelapa sawit. Menurut TuK INDONESIA dan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS), kerja sama ini kurang memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dari ekspansi sawit.
Risiko Finansial dan Keberlanjutan Industri Sawit
Laporan Banking on Biodiversity Collapse 2024 yang disusun oleh Forests & Finance mengungkapkan bahwa lebih dari 50 bank besar dunia masih mendanai industri yang berisiko terhadap hutan tropis, terutama di Indonesia dan Malaysia. Dalam periode 2016-Juni 2024, total kredit sebesar USD 89,17 miliar (Rp1.289,59 triliun) disalurkan untuk proyek-proyek yang terkait dengan deforestasi, konversi lahan, dan pelanggaran hak masyarakat adat.
Sektor kelapa sawit, meskipun memiliki nilai ekonomi tinggi, juga menjadi penyebab utama hilangnya hutan tropis dan konflik sosial. Dengan diterapkannya European Union Deforestation Regulation (EUDR), Uni Eropa hanya akan menerima produk sawit yang memenuhi standar keberlanjutan yang ketat, memberikan tekanan bagi Indonesia dan Malaysia untuk meningkatkan praktik industri mereka.
Kerentanan Buruh Migran di Industri Sawit
Di sisi lain, buruh migran Indonesia yang bekerja di perkebunan sawit di Malaysia menghadapi kondisi kerja yang tidak layak, dengan upah rendah, jam kerja panjang, dan risiko kecelakaan tinggi. Banyak dari mereka tidak memiliki dokumen resmi, yang membuat mereka rentan terhadap eksploitasi dan deportasi paksa.
Menurut Rizal Assalam, Koordinator TPOLS, ekspansi sawit akan memperburuk konflik agraria dan ketimpangan sosial, dengan contoh kasus di Seruyan dan Buol yang hingga kini belum mendapatkan resolusi. Ia menegaskan bahwa ekspansi ini tidak membawa kesejahteraan bagi buruh maupun masyarakat yang kehilangan tanah mereka. Sebaliknya, pemerintah Indonesia perlu mengikuti kebijakan global seperti EUDR yang menekankan keberlanjutan dan hak asasi manusia.
Mendesak Kebijakan Berkelanjutan
Indonesia dan Malaysia harus memastikan bahwa ekspansi industri sawit dilakukan dengan pengawasan ketat, transparansi, serta perlindungan hak sosial dan lingkungan. Tanpa kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, kerja sama ekonomi ini berisiko memperburuk ketimpangan sosial dan mempercepat kerusakan lingkungan.
Komitmen politik harus dibarengi dengan implementasi kebijakan yang konkret, termasuk sistem due diligence yang transparan, pengawasan terhadap deforestasi, dan perlindungan hak buruh serta masyarakat adat. Jika tidak, kebijakan ketahanan pangan dan energi yang dicanangkan hanya akan memperdalam krisis lingkungan dan sosial yang tengah dihadapi Indonesia.
sumber :
Temukan peta dengan kualitas terbaik untuk gambar peta indonesia lengkap dengan provinsi.




