Berita

Lebih dari Rp 9 Kuadriliun Subsidi Mengalir ke Sektor yang Bahayakan Iklim Bumi

Setiap tahun, lebih dari $650 miliar (setara dengan Rp 9 kuadriliun) subsidi publik diberikan kepada sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim seperti bahan bakar fosil, pertanian intensif, dan industri lainnya. Temuan ini diungkapkan dalam laporan terbaru dari ActionAid yang berjudul How the Finance Flows: The Banks Fuelling the Climate Crisis. Laporan tersebut menyoroti bagaimana subsidi ini tidak hanya menghambat transisi global ke ekonomi rendah karbon, tetapi juga memperparah krisis iklim yang semakin mendesak.

Krisis Iklim dan Subsidi yang Menggerogoti Dana Publik

Jika ditotal, subsidi tahunan sebesar Rp 9 kuadriliun tersebut cukup untuk membiayai pendidikan bagi setiap anak di Afrika sub-Sahara sebanyak 3,5 kali lipat setiap tahunnya. Namun, alih-alih digunakan untuk kepentingan publik yang lebih luas, dana tersebut diarahkan untuk mendukung industri yang justru memperburuk krisis iklim. Negara-negara berkembang bukan satu-satunya yang terlibat dalam subsidi ini, negara maju pun aktif menyubsidi sektor-sektor yang berdampak besar terhadap emisi karbon, seperti bahan bakar fosil dan pertanian intensif.

Subsidi ini menciptakan situasi di mana perusahaan-perusahaan besar, terutama di sektor bahan bakar fosil, memperoleh keuntungan besar dan menggunakannya kembali untuk eksplorasi sumber daya baru alih-alih berinvestasi dalam energi bersih dan terbarukan. Dampaknya, selain memperparah krisis iklim, sektor-sektor ini juga mempertahankan dominasi mereka dalam pasar energi global dengan menghalangi inovasi di bidang energi hijau.

Hambatan dalam Transisi ke Ekonomi Rendah Karbon

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam upaya mengatasi krisis iklim adalah kuatnya pengaruh politik dari perusahaan-perusahaan besar yang menerima subsidi. ActionAid menyoroti adanya fenomena yang disebut “pengambilalihan perusahaan” atas pemerintah dan lembaga publik, di mana kepentingan perusahaan mendominasi kebijakan publik. Hal ini membuat subsidi untuk sektor-sektor yang merusak lingkungan terus berlanjut, meskipun sudah ada seruan dari lembaga-lembaga internasional seperti Badan Energi Internasional (IEA) dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengurangi subsidi tersebut.

Selama beberapa dekade, subsidi besar-besaran ini menjadi hambatan yang serius dalam mengubah ekonomi global ke arah yang lebih ramah lingkungan. Sebagai contoh, ketika harga energi melonjak, perusahaan bahan bakar fosil justru semakin meraup keuntungan besar, memperkuat posisi mereka dalam ekonomi global. Sebagian besar keuntungan ini kemudian digunakan untuk mengeksplorasi cadangan minyak dan gas baru, bukan untuk mendorong transisi ke energi terbarukan yang lebih bersih.

Ketidakadilan Global dalam Krisis Iklim

Krisis iklim adalah isu global yang mempengaruhi semua negara, tetapi dampaknya dirasakan secara tidak proporsional oleh negara-negara berkembang. Arthur Larok, Sekretaris Jenderal ActionAid International, menuding perusahaan-perusahaan besar sebagai pihak yang bertanggung jawab atas krisis ini. Ia menyebut bahwa perusahaan-perusahaan kaya menguras sumber daya di belahan bumi selatan, sementara negara-negara maju gagal memenuhi janji pendanaan iklim yang telah mereka buat selama beberapa dekade terakhir.

Kegagalan negara-negara maju untuk memenuhi komitmen mereka dalam membantu negara-negara berkembang mengatasi dampak perubahan iklim semakin memperburuk ketidakadilan global. Larok menggambarkan janji pendanaan iklim oleh negara-negara kaya sebagai “retorika kosong” yang belum terwujud dalam tindakan nyata. Janji-janji ini sering kali tidak diiringi oleh langkah konkret untuk mengakhiri subsidi kepada industri yang merusak lingkungan atau menyediakan pendanaan yang memadai bagi proyek-proyek energi terbarukan di negara-negara berkembang.

Potensi dan Tantangan Mengurangi Subsidi

Badan-badan internasional, seperti IEA, IMF, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), secara konsisten menyerukan untuk mengurangi subsidi terhadap sektor-sektor yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Namun, banyak negara enggan mengambil langkah drastis karena alasan politik dan ekonomi. Industri-industri yang disubsidi ini sering kali dianggap “terlalu penting” untuk ekonomi nasional atau memiliki lobi politik yang kuat.

Meski demikian, pengurangan subsidi untuk bahan bakar fosil dan sektor-sektor lain yang merusak lingkungan dapat memberikan dampak signifikan bagi penanganan krisis iklim. Dengan dialihkan ke energi bersih dan proyek ramah lingkungan, dana tersebut dapat mempercepat transisi global menuju ekonomi rendah karbon dan mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim yang dirasakan oleh negara-negara paling rentan.

Menyongsong Masa Depan yang Lebih Hijau

Saat ini, dunia berada di persimpangan antara melanjutkan subsidi yang memperparah krisis iklim atau memulai transisi ke arah yang lebih berkelanjutan. Mengatasi tantangan ini memerlukan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari sektor pemerintah, industri, maupun masyarakat sipil. ActionAid menyerukan agar pemerintah-pemerintah di seluruh dunia, terutama di negara-negara maju, segera mengambil langkah nyata untuk mengurangi subsidi yang merusak lingkungan dan berinvestasi dalam solusi yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Subsidi yang saat ini diberikan kepada sektor-sektor perusak lingkungan perlu dialihkan untuk mendanai pendidikan, kesehatan, dan proyek-proyek yang mendukung energi bersih. Dengan begitu, kita tidak hanya akan mengatasi krisis iklim, tetapi juga membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Kesimpulan

Laporan ActionAid mengungkapkan bahwa subsidi untuk sektor-sektor yang merusak lingkungan selama bertahun-tahun telah memperparah krisis iklim. Mengakhiri subsidi ini adalah langkah penting untuk mengubah ekonomi global menuju model yang lebih rendah karbon. Negara-negara kaya perlu mengambil tanggung jawab lebih besar dalam membantu negara-negara berkembang melalui pendanaan iklim yang nyata dan memastikan bahwa kebijakan mereka tidak terus mendukung perusahaan-perusahaan yang memperburuk kondisi lingkungan.

Dengan komitmen bersama, kita dapat mengakhiri “sirkus” subsidi yang merusak dan mulai membangun masa depan yang lebih bersih, hijau, dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.

Source:

https://lestari.kompas.com/read/2024/09/19/170000686/subsidi-rp-9-kuadriliun-mengalir-ke-sektor-yang-bahayakan-iklim-bumi

Temukan peta dengan kualitas terbaik untuk gambar peta indonesia lengkap dengan provinsi.

Konten Terkait

Back to top button
Data Sydney Erek erek