Berita

Riset ungkap kehidupan masyarakat miskin makin rentan akibat perubahan iklim

Hasil Riset SMERU: Perubahan Iklim Memperparah Kerentanan Masyarakat Miskin di Indonesia

Lembaga Penelitian SMERU merilis temuan yang menyoroti bagaimana perubahan iklim bertindak sebagai “amplifier” yang memperdalam kerentanan yang sudah dialami oleh masyarakat miskin di Indonesia. Riset yang didukung program Koneksi ini menemukan bahwa dampak iklim semakin membebani kelompok miskin karena keterbatasan kemampuan mereka untuk beradaptasi dan memulihkan diri.

Peneliti Senior SMERU, Nila Warda, menegaskan bahwa kelompok miskin jauh lebih sensitif terhadap guncangan iklim karena mereka umumnya tidak memiliki jaring pengaman finansial seperti asuransi atau tabungan.

Mayoritas Kelompok Miskin Bekerja di Sektor Sensitif Iklim

Studi SMERU menunjukkan adanya korelasi kuat antara sektor pekerjaan dan tingkat kemiskinan di pedesaan, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca:

Sektor Pekerjaan PedesaanAngka Kemiskinan (%)Ketergantungan pada Iklim
Sektor Primer (Pertanian, Kelautan, Perkebunan)$\approx$ 12%Sangat Tinggi
Sektor Industri Pengolahan$\approx$ 10%Rendah
Sektor Jasa$\approx$ 7%Rendah

Poin Kunci: Lebih dari separuh masyarakat miskin berprofesi di sektor primer yang sangat bergantung pada cuaca. Ketidakpastian iklim secara langsung mengganggu penghidupan dan produktivitas mereka (misalnya gagal panen atau risiko gelombang ekstrem).

Dua Akar Utama Kerentanan terhadap Iklim

Riset SMERU menyimpulkan bahwa kerentanan masyarakat miskin terhadap perubahan iklim lebih banyak ditentukan oleh sensitivitas dan kapasitas adaptasi mereka, dibandingkan dengan tingkat keterpaparan iklim itu sendiri.

1. Faktor Sosial Ekonomi (Sensitivitas)

  • Pilihan Tempat Tinggal Terbatas: Keterbatasan ekonomi memaksa kelompok miskin bermukim di daerah rawan bencana atau sulit air, seperti bantaran sungai, lereng pegunungan, atau wilayah yang tidak memiliki akses irigasi memadai.
  • Ketergantungan Ekstrem: Petani di dataran tinggi yang hanya mengandalkan air hujan sangat rentan gagal panen saat kemarau panjang (misalnya saat El NiƱo). Nelayan kecil juga berisiko tinggi akibat gelombang dan cuaca ekstrem.

2. Faktor Kelembagaan (Kapasitas Adaptasi)

  • Kelembagaan Tidak Efektif: Fungsi kelembagaan di tingkat lokal (seperti kelompok tani/nelayan) seringkali hanya bersifat formalitas untuk mengakses bantuan pemerintah.
  • Kesenjangan Akses Bantuan: Bantuan yang disalurkan melalui kelompok (misalnya traktor) seringkali tidak merata dan hanya dinikmati oleh ketua kelompok, tidak menjangkau seluruh anggota atau kelompok miskin.
  • Eksklusi Petani Kecil: Aturan keanggotaan kelompok tani mensyaratkan penguasaan lahan yang luas dan status petani aktif. Hal ini menyingkirkan petani miskin yang hanya menguasai lahan kurang dari seperempat hektare, padahal semua program adaptasi dan subsidi (seperti pupuk) disalurkan melalui kelompok ini.

Rekomendasi: Reformasi Tata Kelola dan Pelaksanaan Program

Menurut SMERU, meskipun desain kebijakan adaptasi iklim di atas kertas sudah terbilang baik, pelaksanaannya di lapangan masih diwarnai kesenjangan dan tata kelola yang lemah.

Nila Warda menekankan perlunya reformasi mendasar dalam desain dan pelaksanaan program adaptasi. Tanpa perubahan pada kelembagaan dan tata kelola, perubahan iklim hanya akan memperlebar jurang ketimpangan sosial dan semakin sulit bagi masyarakat miskin untuk membangun ketangguhan.

sumber:

https://esgnow.republika.co.id/berita/t4kxft416/riset-ungkap-kehidupan-masyarakat-miskin-makin-rentan-akibat-perubahan-iklim

Temukan peta dengan kualitas terbaik untuk gambar peta indonesia lengkap dengan provinsi.

Konten Terkait

Back to top button
Data Sydney
Erek erek
Batavia SDK
BUMD ENERGI JAKARTA
JAKPRO